Surabaya, 13 November 2025 — Citra penegakan hukum di tubuh Polri kembali tercoreng. Kali ini, kejanggalan mencuat dari lingkungan Polrestabes Surabaya, setelah seorang warga bernama Purnomo, asal Desa Wangonrejo, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara dugaan penganiayaan yang dilaporkan oleh MN, warga Desa Tulungagung, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro.
Purnomo, dengan itikad baik, memenuhi panggilan tersebut pada Kamis, 13 November 2025 pukul 10.00 WIB, di Mapolrestabes Surabaya. Namun yang terjadi justru di luar dugaan: penyidik yang memanggilnya tidak hadir, sementara Purnomo sudah menunggu berjam-jam tanpa kejelasan.
Yang lebih disayangkan, pemanggilan tersebut dilakukan tanpa adanya surat panggilan resmi dari pihak penyidik. Artinya, proses ini dilakukan tanpa dasar hukum yang sah sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Padahal, Pasal 112 ayat (1) KUHAP secara tegas menyebutkan:
“Penyidik yang memanggil tersangka atau saksi wajib memanggilnya dengan surat panggilan yang sah dan disampaikan kepada yang bersangkutan sekurang-kurangnya tiga hari sebelum pemeriksaan dilakukan.”
Tanpa surat panggilan resmi, tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai maladministrasi dan pelanggaran prosedur penyidikan. Lebih jauh, jika terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan, maka perbuatan itu berpotensi masuk dalam ranah penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP, yang menyebut:
“Pejabat yang dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Tindakan seperti ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, tetapi juga pelecehan terhadap prinsip due process of law — asas fundamental dalam hukum acara pidana yang menjamin setiap warga negara diperlakukan adil, sesuai prosedur, dan berdasarkan hukum yang sah.
Keberanian Purnomo untuk memenuhi panggilan tanpa surat resmi sebenarnya mencerminkan kepatuhan warga terhadap hukum. Namun ironisnya, justru pihak yang seharusnya menegakkan hukum tidak menunjukkan profesionalisme dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas.
Pengamat hukum menilai bahwa tindakan penyidik yang lalai dan tidak hadir pada waktu yang telah ditentukan merupakan bentuk pelanggaran etika profesi. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri, setiap anggota Polri wajib menjunjung tinggi integritas, tanggung jawab, dan menghormati hak-hak warga negara.
Kejadian ini memunculkan tanda tanya besar:
Apakah pemanggilan tersebut bagian dari prosedur resmi, atau hanya upaya informal yang tidak berdasar hukum? Mengapa penyidik yang bertanggung jawab justru mengabaikan kewajibannya?
Masyarakat kini menuntut agar Propam Polri dan Divisi Hukum Mabes Polri turun tangan untuk menelusuri dugaan pelanggaran ini. Jika terbukti terjadi kelalaian atau penyalahgunaan wewenang, maka penyidik terkait harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum dan etik.
Keadilan tidak boleh dijalankan dengan cara yang melanggar hukum. Pemanggilan saksi tanpa surat resmi dan tanpa kehadiran penyidik hanyalah potret buram dari lemahnya profesionalitas aparat penegak hukum. Polrestabes Surabaya harus segera memberikan klarifikasi terbuka — agar publik tidak menilai bahwa hukum kini bisa dijalankan semaunya tanpa dasar, tanpa tanggung jawab, dan tanpa keadilan.












