Tulungagung – Di tengah gembar-gembor pemberantasan perjudian di Jawa Timur, masyarakat Desa Selorejo, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung justru menyaksikan kenyataan pahit: praktik sabung ayam berlangsung bebas, terorganisir, dan seolah mendapat perlindungan tak kasat mata.
Arena perjudian itu disebut-sebut dikuasai oleh sosok berpengaruh bernama “Goclo”, yang dikenal luas di wilayah Tulungagung bagian timur. Informasi dari warga menyebutkan, kegiatan tersebut rutin digelar setiap minggu, bahkan kadang dua kali dalam sepekan. Uang taruhan mengalir deras, mencapai jutaan rupiah per putaran.
“Bukan lagi rahasia, semua tahu siapa pengendali utamanya. Kadang kalau ada kabar razia, cuma berhenti sebentar, lalu buka lagi. Seolah-olah ada yang jaga dari atas,” ujar salah satu warga dengan nada kecewa, Sabtu (9/11/2025).
Arena sabung ayam itu kerap berpindah lokasi untuk menghindari pantauan aparat, namun tetap berada di sekitar wilayah Selorejo. Warga juga menuturkan bahwa lokasi perjudian kerap dijaga oleh sejumlah orang berbadan tegap yang bertugas mengawasi setiap kendaraan dan orang yang masuk.
Ironisnya, saat dikonfirmasi, sosok yang dikenal sebagai Goclo justru mengaku bahwa koordinator kegiatan kini telah berganti atas nama “Penyu” (+62 856-4904-xxxx). Pergantian ini diduga menjadi bagian dari strategi agar jaringan tetap berjalan meski terus menjadi sorotan publik.
Praktik perjudian ini bukan hanya merusak moral masyarakat, tapi juga memalukan bagi penegakan hukum di Tulungagung. Bagaimana tidak — kegiatan ilegal yang terang-terangan ini justru dibiarkan tumbuh subur di tengah masyarakat tanpa penindakan tegas.
Padahal, hukum sudah sangat jelas melarang segala bentuk perjudian.
Dalam Pasal 303 KUHP, disebutkan:
“Barang siapa dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan untuk permainan judi, atau turut serta dalam perusahaan perjudian, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp25 juta.”
Sementara Pasal 303 bis KUHP menegaskan:
“Barang siapa ikut serta dalam permainan judi, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta.”
Tak berhenti di situ, peran sosok seperti Goclo dan Penyu sebagai pengendali kegiatan dapat dijerat dengan Pasal 55 dan 56 KUHP, yang mengatur tentang mereka yang menyuruh, turut serta, atau membantu melakukan tindak pidana.
“Orang yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, atau membantu dalam melakukan tindak pidana, dipidana sebagai pelaku,” bunyi Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Jika aparat tidak segera bertindak, maka pembiaran terhadap kegiatan ini bisa menimbulkan preseden buruk. Bukan hanya soal perjudian, tapi juga soal kredibilitas aparat penegak hukum itu sendiri.
Masyarakat Selorejo kini mulai geram. Mereka menuntut tindakan nyata, bukan sekadar razia formalitas yang berhenti di jalanan, sementara “raja judi” tetap tertawa di balik meja taruhan.
Praktik sabung ayam di Desa Selorejo adalah potret nyata kemunduran moral dan penegakan hukum di daerah. Jika hukum bisa dibeli dengan uang dan pengaruh, maka rakyat kecil hanya bisa bertanya:
Apakah keadilan di Tulungagung sudah dikalahkan oleh gengsi dan genggaman kekuasaan?












