Surabaya – Kasus dugaan penganiayaan yang menyeret nama Ketua DPD Lembaga Investigasi Negara (LIN) Jawa Timur, Markat N.H, kini menjadi sorotan tajam publik. Pasalnya, di balik proses hukum yang berjalan di Polrestabes Surabaya, muncul banyak kejanggalan dan dugaan kriminalisasi terhadap lembaga yang selama ini dikenal aktif membongkar praktik tambang ilegal di Jawa Timur.
Pada Senin, 10 November 2025, Markat N.H datang memenuhi panggilan penyidik sebagai saksi dalam kasus dugaan pelanggaran Pasal 351 KUHP (penganiayaan). Ia didampingi Advokat Novan S.H, yang juga merupakan anggota PBH LIN (Pusat Bantuan Hukum LIN).
Menurut Advokat Novan S.H, sejak awal laporan ini sudah menunjukkan ketidakwajaran. “Laporan dibuat tanggal 8 Oktober 2025, sementara kejadian yang dilaporkan terjadi 1 Oktober. Kalau benar ada penganiayaan, mestinya laporan dibuat langsung setelah kejadian, bukan seminggu kemudian. Ini jelas janggal dan berpotensi direkayasa,” ujarnya dengan nada tajam.
Lebih mencurigakan lagi, kata Novan, penyidik menyebut bahwa kasus ini sempat viral di Instagram, bahkan pelapor dikatakan melakukan siaran langsung di depan Polrestabes Surabaya, mengaku dianiaya dan menunjukkan luka lebam. Namun ketika diminta bukti video atau tangkapan layar, penyidik justru tidak mampu menunjukkannya.
“Saya tanya bukti viralnya, tapi dijawab lupa akun dan tidak ada screenshot. Bagaimana bisa disebut viral kalau jejak digitalnya pun tak ada? Ini aneh dan mencederai logika hukum,” tegas Novan.
Tak hanya itu, Ketua Umum LIN R.I yang turut memberikan keterangan kepada penyidik juga menemukan kontradiksi dalam materi pemeriksaan. “Awalnya disebut ada penyekapan, tapi setelah ditanya definisi penyekapan, penyidik sendiri mengoreksi bahwa ternyata tidak ada penyekapan. Padahal pagi hari pukul 09.00, pelapor duduk santai tanpa luka sedikit pun. Namun entah mengapa tiba-tiba tanggal 8 Oktober muncul laporan penganiayaan,” ujarnya menirukan hasil keterangan.
Lebih jauh, Advokat Novan juga membeberkan adanya tekanan terhadap saksi di lapangan. Menurutnya, penjaga homestay tempat kejadian bahkan didatangi hingga empat kali oleh aparat, dengan belasan polisi datang memaksa saksi bicara sesuai narasi pelapor. “Ini sudah tidak sehat secara hukum. Kalau saksi ditekan agar mengubah keterangan, ini bukan lagi penyelidikan, tapi pemaksaan opini,” tegasnya.
Dalam penilaian PBH LIN, pola yang muncul dalam kasus ini mengarah pada upaya kriminalisasi terhadap Ketua DPD LIN Jatim, terutama karena lembaga tersebut sedang gencar membongkar praktik tambang ilegal di wilayah Jawa Timur. Fakta bahwa salah satu pengacara dari pihak pelapor disebut terlibat dalam pengelolaan tambang ilegal semakin memperkuat dugaan adanya motif tertentu di balik laporan ini.
“Ketika lembaga yang kritis terhadap kejahatan lingkungan mulai membongkar jaringan tambang ilegal, lalu tiba-tiba muncul laporan penganiayaan yang tidak sinkron antara waktu, bukti, dan saksi — itu patut dicurigai sebagai serangan balik,” ujar Novan.
Kasus ini kini masih dalam penyelidikan di Satreskrim Polrestabes Surabaya. LIN menegaskan akan mengawal proses hukum secara terbuka dan menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap para pejuang keadilan lingkungan dan hukum.
“Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan tambang ilegal atau kekuatan uang. Kami akan terus berdiri di garis depan, sekalipun harus berhadapan dengan tekanan dan fitnah,” pungkas Novan.












